Warga pasang spanduk tolak bank emok.
FRN Sukabumi, - Beberapa spanduk berisi penolakan terhadap Bank Emok ramai tersebar di wilayah Pajampangan, Kabupaten Sukabumi. Foto-foto spanduk itu viral di media sosial dan aplikasi perpesanan.Spanduk itu kabarnya memang sengaja dipasang sekelompok warga yang mengatasnamakan diri Gempa (Gerakan Muslim Penyelamat Akidah). Pihak Gempa mengatakan, spanduk itu dipasang atas permintaan warga. Informasi diperoleh spanduk itu dipasang di beberapa desa di Kecamatan Ciambar, Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Surade.
Sekadar informasi, mendapat sebutan Bank Emok karena menggambarkan situasi saat ibu-ibu di perkampungan yang emok-emok atau duduk-duduk saat transaksi uang antara peminjam dengan pemberi pinjaman. Sementara Bank Keliling atau Kuriling artinya perilaku peminjam uang yang keliling ke kampung-kampung.
"Itu permintaan warga untuk melawan yang katanya koperasi simpan pinjam padahal sebetulnya koperasi itu harus ada izinnya, apanya dilengkapi, taat aturan intinya harus ada izin. Kalau memang koperasi simpan pinjam, masyarakat kapan nyimpannya yang ada malah pinjam dengan bunga tinggi," kata Opik, ketua Ormas Gempa saat dihubungi wartawan, Jumat (3/5/2024).
Permintaan pemasangan spanduk itu disebut Opik karena mulai banyak warga yang sadar akan jerat rentenir berkedok koperasi yang dikenal dengan sebutan Bank Emok atau Bank Keliling.
"Masyarakat perlahan mulai sadar risiko Bank Emok dan Bank Keliling, para pelaku ini meminjamkan dengan mudah uang cair dipotong, meskipun bayarnya ada yang bunganya sampai 30 persen. Sok saja, masyarakat lagi kesulitan ekonomi ditawari kemudahan keuangan siapa yang bisa menolak, ini terus begitu sampai akhirnya terjerat," ujar Opik.
Jeratan pinjaman tersebut menurut Opik membuat masyarakat seolah berada di kubangan yang sama. Gali lubang tutup lubang. Meskipun sudah berhutang jejaring Bank Emok terus datang, sehingga masyarakat seperti gali lubang tutup lubang.
"Mereka ini seperti berkelompok akhirnya timbul keresahan mereka berkeliaran ke kampung-kampung. Masyarakat pinjam dari Bank Emok A, kemudian datang lagi Bank Emok B, belum lunas keduanya ditawari lagi sama Bank Emok C. Masyarakat akhirnya terjerat, sementara suaminya nggak tahu," ungkap Opik mengungkap fakta di lapangan.
"Saat ketahuan suami timbul ribut, suami dan istri, tetangga dan tetangga. Contohnya, tetangga pinjam uang suaminya di Jakarta kerja jadi kuli bangunan, saat dikirim uang habis buat setor sementara kebutuhan keluarga seperti anak, jajan dan makan tersendat karena bertubi-tubi dihantam buat bayar Bank Emok," sambung Opik.
Kemudahan menjadi jerat, padahal menurut Opik kalau saja masyarakat sadar soal bunga yang tinggi, potongan yang besar saat uang dicairkan. Fenomena seperti ini tidak harus terjadi, namun faktanya minimnya pengetahuan membuat warga terjerat.
"Kalau sama kita tidak disikapi masalah Bank Keliling, masyarakat bakal terus ada di kubangan hutang. Bunga terus datang, pinjam Rp 2 juta, bunganya 600 ribu sampai ada begitu, bayar perminggu 1.6 juta. Bank emok sudah tahu orang punya hutang ke beberapa orang, dikasih pinjam lagi sama Bank Emok lain. Belum setor, eh pinjam lagi pakai atas nama orang, nah itu yang bahaya, minjam nama tatangga yang punya nama atau KTP dapat Rp 300 ribu - Rp 400 ribu," tuturnya.
Opik berharap peranan pemerintah mengatasi persoalan ini, pinjaman bunga tinggi berkedok koperasi bisa dibatasi ruang geraknya karena fenomena itu membuat dampak berkelanjutan dan menimbulkan kericuhan.
"Pemerintah tolong bereskan setiap koperasi yang tidak berizin untuk memperkecil ruang gerak Bank Emok, hal ini untuk menghindari kericuhan masyarakat. Lalu bagaimana solusinya, contoh di Banten sudah di setop, padahal persoalan dengan di Pajampangan sama dan lebih laama kita karena sudah 10 tahun menyikapi persoalan ini," pungkas Opik.
(TIM/RED).
0 Komentar